PEMIKIRAN PENDIDIKAN KH. AHMAD DAHLAN

Oleh : Toro Yudistiro

Visi dan Misi

Melihat kondisi masyarakat disaat itu maka KH. Ahmad Dahlan bertekad mengadakan gerakan pembaharuan yaitu senantiasa menekankan bahaya sinkretisme, bid’ah, dan khurafat. Beliau juga tidak menyetujui pengkeramatan kuburan dan orang suci serta kepercayaan pada jimat-jimat maka visi dan misi KH. Ahmad Dahlan disaat itu adalah menguatkan aqidah masyarakat.

Dalam konteks sosial KH. Ahmad Dahlan, beliau hidup mencerminkan tiga hal, yaitu :

  1. Modernisme yaitu dengan mendirikan sekolah-sekolah model barat
  2. Tradisionalisme dengan metode tabligh yaitu mengunjungi murid-muridnya untuk melakukan pengajian. Pada masa itu, “guru mencari murid” merupakan aib sosial-budaya, tetapi KH. Ahmad Dahlan melakukannya sebagai perbuatan luar biasa. Dari tabligh semacam ini, paling tidak memiliki implikasi sebagai perlawanan terhadap paham pemujaan tokoh (idolatry) dan perlawanan terhadap mistifikasi agama
  3. Jawaisme yaitu dengan metode positive action yang mengedepankan amar ma’ruf nahi munkar. KH. Ahmad Dahlan dengan metode ini menekankan bahwa keberuntungan hidup semata-mata merupakan kehendak Tuhan yang diperoleh manusia melalui shalat, bukan melalui jimat, pengkeramatan kuburan atau memelihara tahayul.[1] 

Pembaruan ini beliau lakukan dengan mendirikan pengajian di pondoknya sepulang dari Makkah. Melalui pengajian tersebut KH. Ahmad Dahlan menegaskan bahwa kehidupan agama harus berpedoman kepada Al-Quran dan Al-Sunnah.

Selain masalah pemurnian (purifikasi), Ahmad KH. Ahmad Dahlan  juga melakukan pembaruan Islam melalui agenda perubahan sosial melalui metode ijtihad dan tajdidnya. Dari beberapa hal di atas kiranya dapat disimpulkan bahwa KH. Ahmad Dahlan di dalam melakukan pembaruan Islam melalui Muhammadiyah dilakukan dengan empat cara yaitu :

  1. Pertama, KH. Ahmad Dahlan selalu menekankan perlunya penyatuan dimensi ajaran “kembali kepada Al-Quran dan Al-Sunnah” dengan dimensi ijtihad dan tajdid sosial keagamaan.
  2. Kedua, dalam mengaktualisasikan cita-cita pembaruannya, KH. Ahmad Dahlan menempuh sistem organisasi.
  3. Ketiga, pemikiran KH. Ahmad Dahlan dengan Muhammadiyahnya bercorak “antikemapanan” kelembagaan agama yang terlalu bersifat kaku.
  4. Keempat, gagasan pembaruan KH. Ahmad Dahlan dengan Muhammadiyahnya selalu bersikap responsif dan adaptif dalam menghadapi perkembangan zaman. Dengan keempat metode ini, Islam Muhammadiyah di era KH. Ahmad Dahlan merupakan “Islam sejati”, demikian penilaian yang dikemukakan Mulkhan.[2]

Tujuan Pendidikan

Pendidikan menurut Ahmad KH. Ahmad Dahlan  bertujuan menciptakan manusia yang: (1) baik budi, yaitu alim dalam agama; (2) luas pandangan, yaitu alim dalam ilmu-ilmu umum; (3) bersedia berjuang untuk kemajuan masyarakat. Menurut beliau, nilai dasar pendidikan yang perlu ditegakkan dan dilaksanakan untuk membangun bangsa yang besar adalah :

  1. Pendidikan Akhlak, yaitu sebagai usaha menanamkan karakter manusia yang baik berdasarkan Al Qur’an dan Sunnah.
  2. Pendidikan Individu yang utuh, yang berkeseimbangan antara perkembangan mental dan jasmani, keyakinan dan intelek, perasaan dan akal, dunia dan akhirat.
  3. Pendidikan Sosial, yaitu sebagai usaha untuk menumbuhkan kesediaan dan keinginan hidup bermasyarakat.[3]

Kurikulum Pendidikan

KH. Ahmad Dahlan tidak puas terhadap sistem dan praktik pendidikan yang ada pada saat itu. Maka dengan mengadopsi substansi dan metodologi pendidikan model Barat yang dipadukan dengan sistem pendidikan model tradisional, KH. Ahmad Dahlan berhasil mensintesiskan keduanya dalam bentuk pendidikan model Muhammadiyah. Konsep kurikulum pendidikan Islam menurut K.H. Ahmad Dahlan, yaitu integralistik antara muatan kurikulum umum dan muatan kurikulum agama.

Proses Belajar Mengajar

KH. Ahmad Dahlan melakukan pembaharuan sistem belajar mengajar yang berbeda dengan system tradisional yaitu :

  1. Dengan sistem klasikal model Barat, yang meninggalkan metode weton dan sorogan dalam sistem tradisional.
  2. Rencana pelajaran yang teratur dan integral sehingga hasil belajar lebih dapat dievaluasi.
  3. Hubungan guru dan murid lebih akrab, bebas, dan demokratis, yang berbeda dengan lembaga pendidikan tradisional yang mengesankan guru bersifat otoriter dengan keilmuannya.
  4. Menggunakan bahasa daerah dan bahas Indonesia,  juga memakai bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar.
  5. Tempat mengajar berada di dalam sebuah gedung yang dibagi dalam kelas– kelas, tiap kelas dilengkapi dengan bangku untuk tempat duduk para pelajar, papan tulis, serta meja dan kursi untuk guru.
  6.  Lama waktu mengajar lima sampai enam jam sehari, pelajaran diatur secara efisien, lama pelajaran ditentukan beberapa tahun menurut jenis sekolah dan dibagi dengan kenaikan tingkat tiap – tiap tahun, yang telah menamatkan sekolah diberi ijazah
  7. Menerapkan sistem ulangan, absensi murid dan kenaikan kelas dan kecakapan murid dinilai melalui ulangan yang diberikan, pendidikan juga diberikan di luar jam pelajaran.

Bahan Ajar

Bahan ajar yang digunakan KH.Ahmad Dahlan selain kitab-kitab klasik berbahasa Arab, kitab-kitab kontemporer berbahasa Arab juga dipelajari yang dipadukan dengan pendidikan umum. KH. Ahmad Dahlan telah menciptakan lembaga pendidikan Muhammadiyah sebagai lembaga yang mengajarkan pendidikan agama sebagai mata pelajaran wajib. Ilmu bahasa dan ilmu pasti disampaikan dalam Muhammadiyah sebagai mata pelajaran yang mengimbangi mata pelajaran agama (Akidah, Al-Quran, Tarikh, dan akhlak).

Tenaga Pendidik dan Menejemen

Selama tahun 1923 Muhammadiyah sudah berhasil mendirikan 5 jenis sekolah, yang terdiri dari  32 Volkschool  (sekolah  dasar lima tahun), 8 sekolah Hollands Inlandse School (HIS), 1 Schakelschool (Sekolah 5 tahun untuk menyambung ke MULO), 14 Madrasah dan 1 sekolah pendidikan guru, dengan 4.000 murid dan 119 guru. Selain itu, Muhammadiyah juga mendirikan sekolah agama seperti Madrasah Diniyah di Minangkabau. Pada tanggal 8 Desember 1921 didirikan Pondok Muhammadiyah yang merupakan sekolah khusus untuk guru agama.

Untuk memajukan pendidikan, Muhammadiyah bersifat koperatif dan mau menerima sibsidi keuangan dari kolonial Belanda, walaupun jumlahnya sangat sedikit dan tidak sebanding dengan dana yang diberikan kepada sekolah-sekolah Kristen kala itu, hal ini mendapat kritikan tajam dari Taman Siswa dan Syarikat Islam. Namun Muhammadiyah beralasan, subsidi pendidikan yang diberikan kolonial berasal dari pajak yang diperas kolonial dari pribumi  khususnya umat Islam dan tidak ada salahnya jika subsidi tersebut digunakan untuk memajukan pendidikan masyarakat. Jika menolak maka maka subsidi tersebut akan dialihkan ke sekolah-sekolah Kristen.

Menurut KH. Ahmad Dahlan lembaga pendidikan Islam harus dikelola sebaik mungkin, beliau lantas membuka sekolah sendiri yang diatur dengan rapi dan didukung oleh organisasi yang bersifat permanen. Hal tersebut dimaksudkan untuk menghindari nasib seperti pesantren tradisional yang terpaksa tutup bila kyai sebagai pemimpinnya meninggal dunia.

Pengaruh, Relevansi dan Kontribusi Dalam Kontek Kekinian

Setelah Indonesia merdeka pemikiran K.H Ahmad Dahlan tentang konsep kurikulum pendidikan Islam tersebut sebagian diadopsi dalam pendidikan Nasional. Apalagi pemerintah orde baru membuat kebijakan yang sangat penting. Pendidikan agama merupakan studi wajib di semua jenjang dan jenis pendidikan. Siswa di sekolah umum wajib mengikuti pelajran agama sesuai dengan keyakinannya. Selain itu, pemerintah juga mulai mengembangkan sistem pendidikan madrasah yang di dalamnya diajarkan studi agama dan sains.

Dalam perkembangannya pemikiran pendidikan KH.Ahmad Dahlan pada saat ini dimodofikasi sehingga lahirlah sekolah-sekolah islam diantaranya sekolah islam terpadu, pondok modern, serta lembaga-lembaga pendidikan lainnya. Relevansi pemikiran KH. Ahmad Dahlan pada konteks pendidikan Islam di abad 21 nampak sebagiannya masih ada yang sesuai yaitu aspek tujuan pendidikan Islam dan kurikulum pendidikan Islam, karena pemikiran KH. Ahmad Dahlan hendak menyinergikan antara aspek kognitif, afektif dan psikomotorik. Apalagi di abad 21, arah pendidikan Islam itu sendiri tidak hanya menjadikan manusia memiliki kemampuan secara kognitif, afektif, dan psikomotorik tetapi dalam diri seseorang tertanam sikap dan pribadi yang berakhlak karimah.


Rujukan :

[1] Kuntowijoyo,  “Jalan Baru Muhammadiyah” pengantar untuk Abdul Munir Mulkhan,  Islam Murni dalam Masyarakat Petani (Cet. I; Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya, 2000), hlm. xii-xvi.

[2] Abdul Munir Mulkhan,  Islam Murni dalam Masyarakat Petani (Cet. I; Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya, 2000), hlm. 43-44

[3] Syamsul Hidayat dan Mahasri Shobahiya, Studi Kemuhammadiyahan (Surakarta: Lembaga Pengembangan Ilmu-Ilmu Dasar, 2009), hal.155

Share your love
Admin SMPIT Nur Hidayah
Admin SMPIT Nur Hidayah
Articles: 187

Update Informasi

Silakan masukan email anda untuk mendapatkan Informasi terbaru dari SMPIT Nur Hidayah